SEJARAH
SANDIWARA CIREBON
Sandiwara
Cirebon dikenal oleh masyarakat Jawa Barat dengan
sebutan “masres” pada tahun 1940-an, ketika Cirebon diduduki oleh kolonialis
Jepang. Berdasarkan keterangan yang dihimpun para tokoh sandiwara
Cirebon saat ini, disebutkan bahwa pada masa pendudukan Jepang di Indonesia,
di daerah Cirebon muncul kesenian yang digemari oleh masyarakat yaitu reog
Cirebonan, yang terkenal dengan nama reog sepat.
Pertunjukan
reog itu terdiri dari dua bagian. Pertama berupa atraksi bodoran/lawakan, dan
kedua berupa drama yang mengambil cerita dari kebiasaan masyarakat daerah
tersebut. Pada saat bersamaan, di daerah Jamblang Klangenan muncul pula sebuah
kesenian yang lazim disebut toneel (tonil) dengan nama Cahya Widodo. Kesenian
ini setiap hari selama berbulan-bulan melakukan narayuda (ngamen).
Kedua
jenis kesenian tersebut kemudian mengilhami seorang pemuda dari Kampung
Langgen, Desa Wangunarja, Klangenan, Cirebon, yang bernama Mursyid untuk
mendirikan kesenian baru di daerah Cirebon. Mursyid mengumpulkan para pemuda
dari lingkungan sekitar untuk bersama-sama mendirikan perkumpulan kesenian yang
memadukan reog sepat dan tonil Cahya Widodo.
Kesenian
ini adalah drama gaya Cirebonan dengan iringan musik yang didukung oleh waditra
berlaraskan prawa. Kesenian perpaduan itu dinamakan jeblosan yang, menurut
mereka, berarti “pertunjukan tonil tanpa layar tutup” (jeblas-jeblos; bahasa
Cirebon). Selain itu, ada pula yang menyebutnya Bungkrek (bahasa Cirebon yang
artinya bujang [pemuda] yang sering angkrak-engkrek [menari]).
Oleh karena jeblosan
ini banyak dipengaruhi ketoprak/tonil/stambul Cahya Widodo, maka tidak
mengherankan apabila cerita yang dibawakan pada waktu itu berasal dari Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Akan tetapi adakalanya cerita diambil dari cerita rakyat
Jawa Barat tentang asal-usul daerah atau dongeng-dongeng rakyat. Dalam
perjalanannya, kesenian jeblosan ini sangat digandrungi oleh masyarakat.
Walaupun
pada waktu itu seluruh pemainnya kaum pria, namun mayoritas mereka adalah
pejuang kemerdekaan. Dalam kesenian inilah tercipta media penerangan sekaligus
perjuangan melawan penjajah melalui lakon-lakon yang dimainkannya.
Pada
1946 di Desa Kebarepan, Kecamatan Plumbon, Cirebon berdiri pula kesenian
sejenis dengan nama langendriyo, yang diprakarsai oleh Suwandi dan Mursyid,
Desa Barepan. Langendriyo dan jeblosan ini hampir sama dengan tonil Cahya
Widodo, meskipun ada perbedaan dalam bahasa penyampaiannya.
Pada
langendriyo, cerita disampaikan dalam bahasa Jawa dan pada jeblosan dipakai
bahasa campuran antara bahasa Jawa Cirebonan dengan bahasa Jawa.
Pada
1949 sarana langen jeblos mulai ditingkatkan, yaitu menggunakan panggung. Nama
jeblos diganti dengan langen perbeta yang berarti lasykar (bahasa sandi),
Persatuan Bekas Tentara.
Dan
pada tahun lima-puluhan namanya diganti lagi dengan Sari Sasmita yang berfungsi
sebagai media penerangan. Kejayaan Sari Sasmita mulai terlihat. Dari malam ke
malam, pada setiap musim hajatan, kesenian tersebut tidak pernah istirahat
memenuhi undangan masyarakat penggemarnya.
Pada
1952 di Desa Bojong Wetan, Kecamatan Klangenan, berdiri pula kesenian sejenis
dengan nama sanpro (sandiwara proletar). Pendirinya adalah H. Abdullah, yang
pada saat itu menjabat sebagai kepala desa setempat. Kemudian, pada 1956,
berdiri pula perkumpulan sandiwara di daerah Bedulan, Desa Suranenggala,
Cirebon Utara, dengan nama yang dikenal sekarang, yaitu masres (nama sejenis
benang yang dipakai untuk membuat jaring ikan). Salah satu pendirinya adalah
Ibu H. Sami’i yang dikenal sebagai pesinden Cirebonan. Dan, pada 1956,
partai-partai politik mulai melirik kesenian sandiwara tersebut untuk media
kampanye bagi kepentingan masing-masing.
Maka
di Desa Bojong Wetan, Kecamatan Klangenan Cirebon, para tokoh Partai Sosialisme
Indonesia (PSI) mendirikan perkumpulan seni sandiwara menggantikan sanpro
dengan nama Setia Budhi. Tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI), dengan
Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)-nya, mendirikan perkumpulan sandiwara dengan
nama Suluh Budaya. Sementara tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)-nya, mendirikan perkumpulan sandiwara dengan
nama Dharma Bhakti. Perkumpulan-perkumpulan ini hanya bertahan hingga tahun
1965 dan ketika meletus Gerakan 30 September (G-30-S/PKI) grup-grup ini bubar
karena amukan massa anti-PKI. Sejak saat itu fungsi sandiwara, juga
kesenian-kesenian lain, tidak lagi didampingi oleh kepentingan partai politik.
Sejarah Sandiwara Mega Putra
Arti nama dari "Mega Putra" yang berarti "MEGA" itu besar, luas dan terkenal sedangkan "PUTRA" berarti Ibu HJ Mistiri yang mempunyai anak yang bernama "PUTRA".
Comments
Post a Comment