Skip to main content

Waktu Pentas Sandiwara Mega Putra Cirebon



  Sandiwara Mega Putra’, Desa mertasinga, cirebon. Begitulah tulisan yang tercetak di sebuah papan nama di pinggir jalan raya Desa Mertasinga, cirebon. Pada jarak sekitar sepuluh meter dari papan nama itu, terpam pang papan nama lain ber tuliskan ‘Sandiwara Mega Putra. 

  Beragam kesenian yang berkembang sampai saat itu dibubarkan dan beberapa diantaranya membubarkan diri –seperti kelompok sandiwara di Indramayu-. Namun, semangat para seniman tidaklah luntur setelah pembubaran masal itu. Beberapa seniman mencoba meniti kembali dan menghidupkan sandiwara. Akhir tahun 1960-an merupakan masa kebangkitan kembali kesenian sandiwara. Menghadirkan kembali wajah persandiwaraan dengan image dan kesan yang baru.

  Sebagaimana bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat Indramayu, sandiwara-sandiwara asal Indramayu juga menggunakan bahasa Jawa Dermayon. Meski sebagian besar masyarakat Jawa Barat menggunakan bahasa Sunda, tapi persoalan bahasa ini nampaknya bukan suatu hambatan karena pada kenyataannya sandiwara-sandiwara asal Indramayu ini tidak kehilangan peminatnya baik masyarakat setempat atau luar kabupaten Indramayu.

  Sejak awal kemunculannya, yaitu tahun 1950-an, sandiwara asal Indramayu baru mencapai puncak kejayaannya pada dekade akhir abad ke-20. Pada tahun 1970-an, kesenian sandiwara mulai merambat ke luar kabupaten seperti ke Majalengka, Cirebon, Brebes, dan sebagainya. Namun memasuki tahun 2000-an, sandiwara ini mulai terpinggirkan dan kurang diminati masyarakat. Perubahan selera ini bisa dikaitkan dengan perubahan zaman yang semakin maju serta kemunculan grup-grup kesenian seperti merebaknya grup Organ Tunggal di Indramayu. 

   Musim pesta hajatan, kesenian sandiwara menjadi primadona rakyat. Di tengah gempuran moderenisasi pertunjukkan hiburan, kesenian tradisional ini semakin memiliki tempat di hati masyarakat Indramayu. 

  Terbukti dengan banyaknya masyarakat yang meminta kelompok kesenian sandiwara tampil dalam acara-acara pesta hajatan. Tak hanya warga di perkampungan tepi sawah, tapi sampai sudut-sudut Kabupaten Indramayu. 

   Di sepanjang ruas jalan raya penghubung Cirebon-Indramayu barang itu, masih terdapat bebe ra pa grup sandiwara lainnya. Kedua grup sandiwara itupun ha nya dua dari puluhan grup sandiwara yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Indramayu. 

  Sandiwara merupakan bagian tak terpisahkan dari kesenian rakyat Indramayu. Pertunjukkan sandiwara hampir sama dengan ke senian ketoprak di Jawa Te ngah, ludruk di Jawa Timur mau pun lenong di Betawi. Meski meng alami pasang surut, namun keberadaan sandiwara tetap melekat dalam hati masyarakat. 

  Hal itu bisa terlihat saat ada nya pertunjukkan sandiwara da lam suatu pesta hajat yang digelar se orang warga. Ratusan warga se tempat, dipastikan akan mem ban jiri untuk menontonnya. Apa lagi, jika pementasan sandiwara itu digelar dalam suatu pesta adat di sebuah desa, maka ribuan war ga desa pun akan berduyun-du yun untuk menyaksikannya. 

  Bahkan, pagelaran sandiwara hampir dipastikan akan diikuti oleh para pedagang makanan dan sandang, maupun orang yang menyewakan mainan anak-anak. Karenanya, pertunjukkan sandiwara akan menjadi pesta rakyat yang semarak. 

 Seorang seniman dan buda yawan Indramayu, Supali Kasim, menjelaskan, sandiwara mulai tumbuh dan berkembang di Ka bupaten Indramayu sejak 1940- an. Keberadaannya mendapat pe ngaruh dari kesenian ketoprak yang ada di Jawa Tengah. Bahkan dari sisi penampilan, sandiwara maupun ketoprak memiliki ke samaan. 

  "Keduanya sama-sama me nampilkan drama. Ada dialog dan monolognya, menampilkan tarian dan tembang," tutur Su pali. Se lain itu, para pemainnya pun me nge nakan kostum sesuai jalan cerita yang sedang ditam pilkan. 

  Meski hampir sama, ungkap Supali, namun ada perbedaan dari sisi isi cerita, gamelan mau pun ba hasa yang digunakan para pe mainnya. Menurutnya, sandiwara menampilkan cerita ten tang se buah sejarah, legenda, babad mau pun mitos, dan biasa nya ber kaitan dengan se buah kerajaan atau terbentuknya suatu daerah. 

  Dari sisi gamelan, sandiwara menggunakan gamelan dengan laras (bunyi pada nada) Dermayu – Cerbon. Sedangkan dari sisi ba hasa, yang digunakan dalam pementasan sandiwara merupa kan bahasa Dermayu – Cerbon. 

  Dalam setiap satu kali pe men tasan, pertunjukkan sandiwara akan berlangsung dalam be berapa babak. Di antara ba bak-babak tersebut, ada satu ba bak yang khusus menampilkan humor yang mampu mengocok perut para penonton. 

  Biasanya, pementasan sandiwara akan dimulai pukul 20.00 WIB dengan didahului tetalu (pe nabuhan gamelan) dan berakhir pukul 03.00 WIB. "Kalau zaman dulu, sandiwara akan berlangsung sampai subuh," ujar Supali. 

  Supali menambahkan, pada 1940-an, pertunjukan sandiwara masih bersifat sederhana. Kala itu, sandiwara belum ditam pil kan di atas panggung. Pe nerang yang digunakan pun ma sih be rupa lampu petromaks. 

  Panggung yang dilengkapi lam pu berwarna-warni saat pe mentasan sandiwara baru ada pada era 1970-an. Selain itu, pang gung pun dihiasi dekorasi lengkap dan disesuaikan dengan jalan cerita yang dipentaskan. Supali mengungkapkan, masa kejayaan sandiwara seba gai pertunjukkan rakyat ber lang sung pada 1970-an hing ga 1990-an. Ka la itu, banyak bermunculan grup sandiwara di berbagai daerah. 

  Namun, seiring munculnya kesenian hiburan modern, ter utama organ tunggal, pertunjuk kan sandiwara pun mengalami kemunduran. "Sandiwara tidak punah, tidak pernah habis. Ha nya secara kuantitas menurun," tutur Supali. 

  Supali menyebutkan, saat ini, hanya tinggal sekitar 50 grup sandiwara yang tetap bertahan. Sisanya, bertumbangan karena tak kuasa melawan derasnya per saingan dengan hiburan mo dern. Dari grup-grup sandiwara itu, tercatat ada beberapa grup yang terkenal di tengah ma sya rakat. Di antaranya grup Gajah Mada asal Kecamatan Sukra dan grup Panglipur Manah asal Ke camatan Lohbener, yang tenar pada era 1950-an. 

  Pada masa 1960-an, ada grup Mega Putra asal cirebo.. Pada era 1970-an, muncul grup Budi Suci di Suranenggala, Kabupaten Cirebon dan Candra Kirana asal Gegesik, Kabupaten Cirebon. Adapula grup Indra Putra, asal Cangkingan Kecamatan Karang ampel yang ngetop di era 1980- an. Pada 2014, muncul grup Budaya Pantura di Kecamatan Kroya yang langsung naik daun. 

  Supali menilai, selain ke mun culan hiburan modern, pe nurunan pamor sandiwara juga disebabkan beberapa hal. Di antaranya, masyarakat menilai mengundang grup sandiwara memiliki kerepotan karena me miliki kru yang berjumlah hing ga sekitar 70 orang. 

  Seluruh kru tersebut, harus ditanggung makan maupun akomodasi lainnya oleh pemangku hajat. Tak hanya itu, tarif untuk mengundang sebuah grup sandiwara juga bisa mencapai belasan juta rupiah. 

  Hal itu diakui salah seorang anak dari pendiri grup sandiwara Darma Saputra, Plumbon, H Abdul Karim (alm), yang bernama Haribah. Dia menyatakan, warga yang mengundang grup sandiwara memang menurun. Pasalnya, dengan jumlah kru grup sandiwara yang bisa mencapai 70 orang, pemangku hajat akan di buat repot. ¦ ed: agus yulianto

Comments

Artikel Populer

Perbedaan semi sandiwara sendratari dan tablo

                                                    Sandiwara sendratari adalah kepanjangan akronim ini seni drama dan tari, artinya pertunjukan serangkaian tari-tarian yang dilakukan oleh sekelompok orang penari dan mengisahkan suatu cerita dengan tanpa menggunakan percakapan Sendratari sendratari ialah kombinasi atau adonan antara seni drama dan seni tari,para pemain sendratari terdiri dari penari-penari yang berbakat,rangkaian insiden dalam dongeng diwujudkan dalam bentuk tari yang diiringi musik dalam sendratari tidak terdapat dialog hanya saja kadang kala dibumbuhi narasi singkat supaya penonton tidak terlalu abnormal dan resah tentang dongeng yang sedang dipentaskan sendratari intinya lebih mengutamakan tari daripada jalan dongeng di dalamnya melalui atau bersama ini dongeng yang melatarbelakangi sendratari Istimewa untuk berupa sarana contoh lengkap sendratari yang terkenal yaitu Sendratari Ramayana yang dipersembahkan dengan iringan gamelan Jawa. Awalnya dipentaskan di Prambana

Alat-Alat Musik dan Naskah Yang Digunakan Dalam Kesenian Sandiwara

     Pada kali ini Saya akan sedikit mengulas alat-alat musik dan naskah yang digunakan dalam kesenian sandiwara. Seni Budaya Sandiwara yang kini mulai ditinggal kan masyarakat cirebon karena jasa sewa fullset Seni sandiwara ini terbilang mahal. Seni Budaya sandiwara adalah kesenian rakyat wilayah pantura yang berasal dari Cirebon, diyakini terlahir di Cirebon dan berkembang pesat di Jawa barat. Sebuah bentuk teater yang mengandung unsur utama berupa dialog, tembang dan dagelan dengan diiringi oleh Gamelan.      Sandiwara Cirebon dikenal oleh masyarakat Jawa Barat dengan sebutan “masres” pada tahun 1940-an, ketika Cirebon diduduki oleh kolonialis Jepang. Berdasarkan keterangan yang dihimpun para tokoh sandiwara Cirebon saat ini, disebutkan bahwa pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, di daerah Cirebon muncul kesenian yang digemari oleh masyarakat yaitu reog Cirebonan, yang terkenal dengan nama reog sepat.       Pertunjukan reog itu terdiri dari dua bagian. Pertama beru