Skip to main content

Sandiwara Cirebon Dan Politik

Kelompok sandiwara Cirebon dalam pertunjukannya berperan serta dalam mengkomunikasikan ideologi politik yang pada saat itu menjadi fenomena hegemoni politik, baik di masa orde lama dan masa orde baru maupun orde reformasi. Dari setiap orde, hegemoni politik akan membuat aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma-norma bagi masyarakat seni pertunjukan teater rakyat sandiwara Cirebon. Dan pada akhirnya, aturan, kaidah, dan norma-norma tersebut dirasakan oleh kelompok teater rakyat Cirebon sebagai sesuatu yang sangat mengikat kreatifitas, membatasi dan bahkan menggebiri nilai-nilai estetisnya. Tekanan seperti itu dirasakan oleh kelompok sandiwara Cirebon yang dihinggapi kekuatan politik besar yang menginginkan bentuk pertunjukan sandiwara meliputi isinya diselaraskan dengan mengangkat program dan jargon partai politik tersebut.
Permasalahan Hegemoni Politik
Hegemoni adalah kekuasaan atau dominasi yang dipegang oleh satu kelompok sosial terhadap kelompok-kelompok lain. Hal ini mengacu pada “saling ketergantungan asimetris” dalam hubungan politik, ekonomi, budaya di antara dan di kalangan negara-negara kebangsaan, atau perbedaan di antara dan di kalangan kelas-kelas sosial dalam satu bangsa. Hegemoni adalah dominasi dan subordinasi pada bidang hubungan yang distrukturkan oleh kekuasaan. Tetapi hegemoni lebih dari sekedar kekuasaan sosial itu sendiri; hegemoni merupakan metode untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan (Gramsci dalam Lull, 33: 1998). Hegemoni pun tidak menjadi matang hanya melalui artikulasi ideologis. Arus ideologi yang dominan kemudian harus direproduksi dalam kegiatan satuan-satuan sosial kita yang paling dasar, yakni keluarga, tempat kerja, kelompok-kelompok sosial, kelompok kerja termasuk juga kelompok budaya dan aktifitas kehidupan sehari-hari. Kelompok-kelompok tersebut dijadikan agen-agen utama yang menjadi alat komunikasi, sosialisasi dan difusi informasi serta orientasi ideologis yang berinteraksi, kumulatif dan diterima oleh masyarakat yang mereka ciptakan dan topang, merupakan esensi hegemoni.
Hegemoni semakin nyata ketika kita bercermin pada perjalanan komunitas sosial budaya masyarakat Indonesia. Sejak zaman sejarah muncul yang ditandai dengan hadirnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, sentral kekuasaan ada pada titik istana. Kalangan rakyat yang memiliki kepandaian atau biasa disebut cendekiawan tradisional ditarik untuk memasuki kerja istana. Patron besar merekrut orang-orang dari kalangan rakyat yang mampu berkreatifitas dalam kegiatan seni budaya. Kesenian-kesenian rakyat yang memiliki keunggulan dilegitimasi sebagai kesenian keraton. Keterangan ini bisa kita lihat pada kitab Nagarakrthagama yang dikutip beberapa kesimpulannya oleh Claire Holt, bahwa kehadiran lakon-lakon serta tari-tarian pada abad ke XIV serta pesta raja dengan menghadirkan para seniman dan kesenian dari kalangan rakyat yang sampai kini masih hidup. Di samping raja sendiri larut dalam kesenian itu, kesenianpun seakan dilegitimasi sebagai produk kerajaan (Holt, 2000: 433-440).
Tumbuhnya Hegemoni “politik” sejak masa kerajaan-kerajaan di Indonesia yang mencerminkan adanya kekuasaan pusat, menurut sejarahwan dan budayawan Kuntowijoyo, dikarenakan adanya dualisme budaya, sebagaimana dikatakan dalam bukunya Budaya dan Masyarakat.
Kebudayaan Indonesia di masa lalu diwarnai oleh dualisme. Ungkapan “desa mawa cara, negara mawa tata” menunjukan adanya dua subsistem dalam masyarakat tradisional. Keduanya merupakan unit yang terpisah, bahkan sering saling bertentangan, dan pantang menantang. Namun karena sarana produksi dikuasai oleh pusat kerajaan, dominasi kebudayaan keraton memancarkan sinamya ke kebudayaan desa, tetapi tidak sebaliknya. Demikianlah penyebaran kebudayaan tinggi terjadi di lingkungan budaya rakyat, sehingga misalnya mitologi dalam Babad Tanah Jawi dan karya-karya pujangga keraton, Yasadipura, Mangkunegara IV, Pakubuwana IV dan Ranggawarsita merasuk ke desa-desa. Pembudayaan desa itu bertujuan menegaskan legitimasi penguasa untuk melestarikan tertib dan pelapisan sosial. Akibatnya sistem kebudayaan yang seutuhnya didaku (bahasa Jawa: “dianggap milikku”) oleh pusat kerajaan sebagai pusat kreatifitas yang sah. Sebaliknya, desa hanya dianggap sebagai karya yang belum selesai dan mentah (Congeries). (Kuntowijoyo, 1987: 24-25)
Kenyataan yang pasti dapat kita renungkan kembali ketika alur perjalanan rezim orde lama dan orde baru hingga fase Reformasi dewasa ini menimpa komunitas masyarakat kecil. Hegemoni politik dengan ‘ketergantungan asimetrisnya’[1] merangsek ke sektor masyarakat seni budaya sampai pada komunitas yang paling kecil, yakni grup-grup seni pertunjukan teater rakyat. Masyarakat kecil termasuk di dalamnya adalah kelompok seni pertunjukan teater rakyat yang merupakan zona aman dan empuk bagi hegemoni politik untuk mempertahankan kekuasaan, dijadikan corong atas gagasan partai politik untuk menyederhanakan kampanyenya agar dapat diterima oleh komunitas kecil tersebut.
Pada masa orde lama kesenian dimiliki oleh partai-partai besar pada masa itu. Seni pertunjukan teater rakyat di daerah Cirebon, misalnya, pada masa orde lama ditunggangi oleh kekuatan-kekuatan politik yang pada saat itu termasuk kekuatan politik yang cukup besar masanya, sebut saja seperti Partai Sosialisme Indonesia (PSI), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai Komunis Indonesia sebagai kekuatan baru zaman itu melihat peluang komunikasi politiknya dengan membentuk lembaga kebudayaan seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) oleh Partai Nasional Indonesia. Hal demikian menjadi catatan tersendiri, bahwa lembaga budaya masyarakat di tingkat yang paling bawahpun, seperti grup-grup seni pertunjukan teater rakyat selalu didekati oleh suatu hegemoni politik untuk menyuarakan ideologi partai tersebut.
Ini sebuah kenyataan yang mencerminkan betapa kelompok budaya seni pertunjukan teater rakyat hanya sebagai subordinat dari hegemoni politik dengan ideologinya yang mereka ciptakan. Pada tahun 1956 misalnya, situasi negara dengan partai-partai politiknya mulai melirik kesenian sandiwara untuk media komunikasi dan terompet kepentingan mereka. Di Desa Bojong Wetan Kecamatan Klangenan Cirebon, para tokoh Partai Sosialisme Indonesia (PSI) mendirikan perkumpulan seni sandiwara menggantikan Sanpro dengan nama Setia Budhi. Tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Suluh Budaya. Sementara tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Dharma Bhakti. Perkumpulan-perkumpulan ini hanya berlangsung sampai tahun 1965, terutama bagi Lekra, ketika meletus gerakan 30 September (G30S/PKI), grup ini hancur oleh amukan massa yang anti PKI.
Pada orde baru (1966 – 1996), Golkar dengan berbagai cara menguasai sektor kesenian rakyat termasuk sandiwara Cirebon dengan intervensi dan intimidasi lewat corong birokrat di daerah-daerah. Semua jenis kesenian harus mencerminkan sosok partai itu dengan slogan-slogan, jargon-jargon, dan program pembangunan yang telah dicanangkan. Kuningisasi diharuskan bagi warna-warni elemen visual kesenian rakyat, jika kesenian tersebut ingin bebas menggelar pertunjukan di mana saja. Era orde baru merupakan era pemasungan kreatifitas yang panjang bagi seniman seni pertunjukan teater rakyat-termasuk juga seniman-seniman teater modern.
Kreatifitas seni pertunjukan teater rakyat berjalan hanya untuk melayani hegemoni politik pada masa itu. Aturan-aturan diwujudkan oleh suatu partai yang berkuasa dengan maksud-maksud tertentu, seperti ketertiban (kamtibmas) sebagai cara-cara orde pembangunan yang semu. Tidak sedikit beberapa jenis kesenian rakyat yang dulu mempertunjukkan keseniannya dengan cara ngamen/bebarang, dilarang melakukan hal tersebut dengan alasan bahwa kegiatan itu merendahkan derajat hegemoni partai besar yang pada saat itu ada di tengah-tengah masyarakatnya. Kesenian-kesenian rakyatpun akhirnya disusun tata cara pertunjukannya, penampilannya, prosedur pelaporan hingga adanya pungutan-pungutan liar oleh birokrat/aparat setempat dan ini dilakukan oleh orang-orang yang memang berbicara tentang pembangunan yang sebenarnya menjadi sebuah paradoksal akan pembangunan itu sendiri.

Comments

Artikel Populer

Perbedaan semi sandiwara sendratari dan tablo

                                                    Sandiwara sendratari adalah kepanjangan akronim ini seni drama dan tari, artinya pertunjukan serangkaian tari-tarian yang dilakukan oleh sekelompok orang penari dan mengisahkan suatu cerita dengan tanpa menggunakan percakapan Sendratari sendratari ialah kombinasi atau adonan antara seni drama dan seni tari,para pemain sendratari terdiri dari penari-penari yang berbakat,rangkaian insiden dalam dongeng diwujudkan dalam bentuk tari yang diiringi musik dalam sendratari tidak terdapat dialog hanya saja kadang kala dibumbuhi narasi singkat supaya penonton tidak terlalu abnormal dan resah tentang dongeng yang sedang dipentaskan sendratari intinya lebih mengutamakan tari daripada jalan dongeng di dalamnya melalui atau bersama ini dongeng yang melatarbelakangi sendratari Istimewa untuk berupa sarana contoh lengkap sendratari yang terkenal yaitu Sendratari Ramayana yang dipersembahkan dengan iringan gamelan Jawa. Awalnya dipentaskan di Prambana

Alat-Alat Musik dan Naskah Yang Digunakan Dalam Kesenian Sandiwara

     Pada kali ini Saya akan sedikit mengulas alat-alat musik dan naskah yang digunakan dalam kesenian sandiwara. Seni Budaya Sandiwara yang kini mulai ditinggal kan masyarakat cirebon karena jasa sewa fullset Seni sandiwara ini terbilang mahal. Seni Budaya sandiwara adalah kesenian rakyat wilayah pantura yang berasal dari Cirebon, diyakini terlahir di Cirebon dan berkembang pesat di Jawa barat. Sebuah bentuk teater yang mengandung unsur utama berupa dialog, tembang dan dagelan dengan diiringi oleh Gamelan.      Sandiwara Cirebon dikenal oleh masyarakat Jawa Barat dengan sebutan “masres” pada tahun 1940-an, ketika Cirebon diduduki oleh kolonialis Jepang. Berdasarkan keterangan yang dihimpun para tokoh sandiwara Cirebon saat ini, disebutkan bahwa pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, di daerah Cirebon muncul kesenian yang digemari oleh masyarakat yaitu reog Cirebonan, yang terkenal dengan nama reog sepat.       Pertunjukan reog itu terdiri dari dua bagian. Pertama beru