Beragam kesenian yang berkembang sampai saat itu dibubarkan dan beberapa diantaranya membubarkan diri –seperti kelompok sandiwara di Indramayu-. Namun, semangat para seniman tidaklah luntur setelah pembubaran masal itu. Beberapa seniman mencoba meniti kembali dan menghidupkan sandiwara. Akhir tahun 1960-an merupakan masa kebangkitan kembali kesenian sandiwara. Menghadirkan kembali wajah persandiwaraan dengan image dan kesan yang baru.
Sandiwara atau sering disebut juga Lakon , atau pertunjukan drama adalah suatu jenis cerita, bisa dalam bentuk tertulis ataupun tak tertulis, yang terutama lebih ditujukan untuk dipentaskan daripada dibaca. Sebuah lakon tertulis merupakan suatu jenis karya sastra yang terdiri dari dialog antar para pelakon dan latar belakang kejadian. Lakon tidak tertulis biasanya diambil dari cerita yang sudah umum diketahui dan hanya menjabarkan secara umum jalan cerita dan karakter-karakter dalam cerita tersebut. Contoh karya lakon tertulis yang terkenal misalnya adalah romeo & juliet dari william. Sebuah sandiwara bisa berdasarkan naskah skenario atau tidak. Apabila tidak, maka semuanya dipentaskan secara spontan dengan banyak improvisasi.
Secara umum istilah "sandiwara" dalam bahasa Indonesia diartikan sama dengan drama. Akan tetapi secara khusus istilah sandiwara mengacu kepada kesenian pertunjukan teater drama tradisional rakyat Indonesia, khususnya di daerah jawa barat. Kelompok Sandiwara Sunda atau Sandiwara Indramayu dapat ditemukan di Jawa Barat (terutama sekitar cirebon dan indramayu) dan Jakarta, salah satunya yang terkenal adalah kelompok sandiwara miss tjih di daerah di Cempaka Baru Timur, Jakarta Pusat. Kisah sandiwara ini dapat bersifat percintaan, raben, komedi, horor, tragedi, atau kisah roman sejarah.
Sandiwara Masres merupakan bentuk seni pertunjukan rakyat yang saat ini tumbuh dan berkembang di daerah pesisir yaitu Cirebon dan Indramayu. Nama Masres diambil dari nama jenis kain yang bertekstur halus, kain-kain tersebut dipergunakan dalam setiap pertunjukannya sebagai dekorasi. Dulu kain-kain tersebut hanya berupa kain-kain polos yang diberi warna dan dinamai Masres kuning, Masres hijau, Masres merah dan lain-lain. Sejalan dengan perubahan bentuk pertunjukannya, dekorasi kain yang berbentuk polos kini menjadi dekorasi terlukis yang disebut layar / kelir (backdrop). Layar bukan sekedar pelengkap artistik atau hanya tontonan belaka tetapi merupakan gambaran realitas kehidupan yang dituangkan dalam bentuk visual (lukisan) dan memperkuat jalan cerita. Sandiwara kelompok Dharma Samudra yang berdomisili di desa Cangkring, Cirebon adalah salah satu kelompok sandiwara Masres yang masih diakui eksistensinya. Kelompok sandiwara ini menggunakan layar sebagai dekorasi panggung pertunjukannya. Layar-layar yang dianalisa dalam penelitian merupakan layar yang digunakan dalam cerita “Jaka Pendil”. Visual
layar-layar kelompok Dharma Samudra mempunyai nilai-nilai yang mengacu pada kemungkinan-kemungkinan pemaknaan yang berupa bentuk dan simbol budaya Cirebon
Penggambaran visual layar kelompok Dharma Samudra merupakan pengalaman empiris dan estetis dari pelukisnya. Banyak bentuk dan simbol-simbol budaya Cirebon yang dituangkan oleh pelukisnya dalam penggambaran layar, tetapi secara nilai, simbol-simbol tersebut tidak dapat mewakili pemaknaan layar secara keseluruhan. Visual layar tersebut cenderung merupakan penggabungan bentuk-bentuk estetis dari budaya Cirebon, yang diamati dan dituangkan oleh pelukisnya ke dalam sebuah karya (layar). Secara tidak langsung, kegiatan penggambaran layar yang dilakukan oleh pelukisnya telah menciptakan pakem-pakem dalam menggambar layar sandiwara Masres pada umumnya dan pelukisnya telah memegang pakem tersebut terkecuali ada perubahan dari bentuk ceritanya.
Sejarah
Sandiwara Cirebon, dikenal oleh masyarakat Jawa Barat dengan sebutan Masres pada tahun 1940-an, ketika Cirebon diduduki oleh kolonialis Jepang. Berdasarkan keterangan yang dihimpun oleh para tokoh sandiwara Cirebon saat ini, bahwa pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, di daerah Cirebon muncul kesenian yang digemari oleh masyarakat yaitu reog Cirebonan yang terkenal dengan nama Reog Sepat. Pertunjukan Reog tersebut terdiri dari dua bagian. Pertama, berupa atraksi bodoran/lawakan; dan kedua, berupa drama yang mengambil cerita dari kebiasaan masyarakat daerah tersebut. Pada saat bersamaan, di daerah Jamblang Klangenan muncul pula sebuah kesenian yang lazim disebut Toneel dengan nama Cahya Widodo. Kesenian ini tiap hari bahkan berbulan-bulan melakukan narayuda (ngamen).
Pada tahun 1946 di Desa Kebarepan Kecamatan Plumbon Cirebon berdiri pula kesenian sejenis dengan nama Langendriyo yang diprakarsai oleh Suwandi dan Mursid, desa Barepan. Antara Langendriyo dengan Jeblosan ini hampir sama seperti Toneel Cahya Widodo, namun ada perbedaan pada bahasa penyampaiannya. Pada Langendriyo penyampaian cerita dengan memakai bahasa Jawa dan pada Jeblosan memakai bahasa campuran antara bahasa Jawa Cirebonan dengan bahasa Jawa.
Pada tahun 1949 bentuk Langgen Jeblos mulai ditingkatkan sarananya dengan mempergunakan panggung. Nama Jeblos diganti dengan Langen Perbeta yang berarti Lasykar (bahasa sandi), Persatuan Bekas Tentara. Dan pada tahun lima puluhan namanya diganti lagi dengan Sari Sasmita.yang berfungsi sebagai media penerangan. Kejayaan Sari Sasmita mulai nyata, karena dari malam ke malam di setiap musim hajatan, kesenian tersebut tak pernah istirahat memenuhi undangan masyarakat penggemarnya.
Pada tahun 1970-an sandiwara Cirebon mengalami masa kejayaan, karena banyak sekali masyarakat yang menanggap kesenian ini. Maka tidak heran jika di daerah Cirebon saat ini banyak bermunculan kelompok/grupgrup sandiwara di setiap desa dan kecamatan. Sandiwara Cirebon hingga kini masih hidup di masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Kehidupan kesenian ini tidak terlepas dari dukungan para penyangganya yang masih membutuhkan seni pertunjukan tersebut sebagai pengiring dalam upacara-upacara inisiasi, katarsis dan simpatetik magis (perkawinan, khitanan, kaul dan lain-lain).
Alat Musik
Alat musik yang dipakai dalam sandiwara Cirebon memakai gamelan pelog, dimana beberapa jenis waditranya meliputi: bonang, kemyang, saron, titil, penerus, gong besar dan kecil, kendang, dogdog dan ketipung, tutukan, kenong (jenglong), kecrek, seruling, dan gambang. Dalam perkembangannya saat ini, unsur musik ditambahkan beberapa peralatan musik modern diantaranya key board dan gitar electric. Sementara perlengkapan lain dalam mengusung pertunjukan sandiwara Cirebon meliputi property, layar dan dekor.
Pertunjukan
Dalam pertunjukan Sandiwara Cirebon saat ini, banyak ditampilkan cerita yang diambil dari babad Cirebon, seperti lakon Nyi Mas Gandasari, Pangeran Walangsungsang, Ki Gede Trusmi, Tandange Ki Bagus Rangin, Pusaka Golok Cabang, dan lain-lain. Sekalipun demikian, sandiwara Cirebon kadangkala menampilkan cerita dongeng atau legenda masyarakat Jawa umumnya, terutama pada pertunjukan berlangsung siang hari. Namun pada malam hari, cerita yang ditampilkan kebanyakan diambil dari babad Cirebon hingga tuntas menjelang pagi. Oleh karena sifatnya yang egaliter, sandiwara Cirebon banyak mempertunjukkan pula kemasan-kemasan musik dangdut Cirebonan, atau kadang-kadang tayuban sebagai selingan dalam suatu lakon pertunjukan. Pertunjukan sandiwara Cirebon pada malam hari biasanya dimulai pada pukul 20.00 dan selesai pada pukul 03.30 dinihari. Struktur pertunjukan sandiwara Cirebon adalah sebagai berikut: musik pembuka (tatalu); adegan gimmick (surpraise dengan trik panggung, berupa kembang api); tarian pembuka; pertunjukan lakon sandiwara; penutup, dengan musik dan epilog pimpinan sandiwara.
Comments
Post a Comment